Senin, 22 Agustus 2011

Kisah Seputar G30S/PKI

Sebagai flash back kejadian saat itu, aku mau berbagi cerita yang aku punya mengenai kisah saat itu yang mungkin gak akan pernah ada di buku sejarah di negeri ini.

KISAH PENAMBANG PERAHU DI SUNGAI BENGAWAN SOLO

Namanya Parman, warga Bodo, Keluruhan Kragan, Kecamatan Kalioso, Karanganyar. Sambil mengayuh, dia mau diajak bercerita mengenai kehidupannya sehari-hari sebagai penambang perahu. Setiap hari, mulai pukul 05.00 dia berada di atas perahu yang sejak 1984 dibuatnya sendiri. Biasanya pada jam-jam itu, orang dari seberang sungai yang mau ke pasar, pasti dia meminta jasanya. Baru sekitar pukul 19.00, dia pulang dan menambatkan perahu di tepi sungai.

Sepanjang menjadi penambang perahu, dia telah mengalami berbagai peristiwa yang berhubungan dengan kehidupan di sungai. Dari soal yang berbau mistik seperti perahunya dinaiki makhluk halus yang menyamar manusia hingga peristiwa yang membuatnya trauma pada zaman Gestok (G30S/PKI).

”Bila teringat zaman G30S/PKI, saya merinding. Saat itu Bengawan Solo ini tempat untuk mengapungkan mayat-mayat korban Gestok. Bayangkan, hampir setiap hari ada saja mayat yang tersangkut baito (sebutan dia untuk perahu-Red) saya. Biasanya pakaian si mayat tersangkut paku di baito. Sungguh mengerikan.”

Apa yang dilakukan? Dia hanya menarik mayat itu agar bergerak lagi mengikuti aliran. ”Tidak mungkin mengambilnya untuk dikubur lantaran saking banyaknya.” Cerita mengerikan itu lalu hanya menjadi bagian kenangan dalam dirinya sebagai orang perahu.

KONTROVERSI MAYAT PARA JENDRAL DAN PERWIRA YANG DIBUNUH

Pada hari Kamis tanggal 7 Oktober, Angkatan Bersenjata menyatakan bahwa “matanya (Yani) dicungkil”. Berita ini dikuatkan dua hari kemudian oleh Berita Yudha dengan menambahkan bahwa muka mayat itu ditemukan terbungkus dalam sehelai kain hitam.

Pada tanggal 7 Oktober itu juga Angkatan Bersenjata melukiskan lebih lanjut, tentang bagaimana Jendral Harjono dan Jendral Pandjaitan tewas oleh berondongan tembakan senjata api di rumah masing-masing, lalu mayat mereka dilempar ke dalam sebuah truk yang menghilang dalam kegelapan malam dengan “deru mesinnya yang seperti harimau haus darah”.

Sementara itu Berita Yudha memberitakan tentang bekas-bekas siksaan pada kedua tangan Harjono.

Pada tanggal 9 Oktober Berita Yudha memberitakan, bahwa meskipun muka dan kepala Jendral Suprapto telah dihancurkan oleh “penteror-penteror biadab”, namun ciri-cirinya masih bisa dikenali.

Pada Letnan Tendean terdapat luka-luka pisau pada dada kiri dan perut, lehernya digorok, dan kedua bola matanya “dicungkil”.

Harian ini pada hari berikutnya mengutip saksi mata pengangkat mayat bulan Oktober itu, yang mengatakan bahwa di antara kurban beberapa ada yang matanya keluar, dan beberapa lainnya “ada yang dipotong kelaminnya dan banyak hal-hal lain yang sama sekali mengerikan dan di luar perikemanusiaan.”

Pada tanggal 11 Oktober Angkatan Bersenjata menulis panjang lebar tentang matinya Tendean, dengan menyatakan bahwa ia mengalami siksaan luar biasa di Lubang Buaya, sesudah diserahkan kepada para anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Ia dijadikan benda “permainan jahat” perempuan- perempuan ini, digunakan sebagai “bulan-bulanan sasaran latihan menembak sukwati Gerwani.”

Begitu suratkabar-suratkabar tentara memulai, maka yang lain pun segera serta merta mengikuti. Misalnya Api Pantjasila, orang partai IPKI yang bernaung di bawah militer, pada tanggal 20 Oktober memberitakan, bahwa “alat pencungkil” yang digunakan untuk jendral-jendral itu telah ditemukan oleh pemuda-pemuda anti komunis, ketika mereka menyerbu gedung-gedung Partai Komunis, di desa Harupanggang di luar kota Garut.

Walaupun tanpa diterangkan, mengapa partai tersebut memandang desa itu cocok untuk menyimpannya.

Pada tanggal 25 Oktober suratkabar ini juga memuat pengakuan seseorang bernama Djamin, anggota organisasi pemuda Partai Komunis, Pemuda Rakyat, yang mengatakan telah menyaksikan bagaimana Jendral Suprapto telah disiksa “di luar batas kesusilaan” oleh anggota-anggota Gerwani.

Pengakuan-pengakuan serupa itu dimuat berturut-turut, dan memuncak pada cerita menarik tentang Nyonya Djamilah, disiarkan pada tanggal 6 Oktober oleh Dinas Penerangan ABRI kepada seluruh kalangan pers.

Nyonya Djamilah diceritakan sebagai hamil tiga bulan, pimpinan Gerwani dari Pacitan berumur lima belas tahun, mengaku bahwa ia dan kawan-kawannya di Lubang Buaya telah menerima pembagian pisau kecil serta silet dari anggota-anggota pasukan Gerakan 30 September. Lalu mereka, yang seluruhnya berjumlah seratus orang itu, mengikuti perintah orang- orang itu pula, mulai memotong dan menyayat-sayat kemaluan jendral-jendral yang telah mereka tangkap itu. (”Dibagi-bagikan pisau kecil dan pisau silet… menusuk-nusuk pisau pada kemaluan orang-orang itu. Api Pantjasila, 6 November 1965).

Malahan tidak berhenti di situ saja. Antara yang telah dikuasai militer itu, pada tanggal 30 November melukiskan bagaimana orang-orang Gerwani itu dengan mudahnya telah menyerahkan tubuh mereka kepada para personel AURI yang ikut serta dalam Gerakan 30 September.

Sementara itu pada tanggal 13 Desember Angkatan Bersenjata melukiskan mereka bertelanjang menarikan “Tarian Bunga Harum” di bawah pimpinan Ketua Partai Komunis Dipa Nusantara Aidit, sebelum terjun dalam pesta pora massal bersama para anggota Pemuda Rakyat.

Di dalam cerita-cerita yang memenuhi suratkabar selama bulan- bulan Oktober, November dan Desember ini.

Sementara itu pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang yang berhubungan dengan Partai Komunis terus berjalan - terkandung dua hal yang sangat menarik diperhatikan.

Pertama, ditiup-tiupkan bahwa tujuh kurban itu mengalami siksaan yang mengerikan - khususnya dicungkil mata dan dipotong kemaluan mereka; kedua, ditonjolkan bahwa pelaku-pelaku kejahatan adalah orang-orang sipil dari organisasi yang berafiliasi dengan komunis.

HASIL ASLI FORENSIK TIM DOKTER TENTANG TUJUH KORBAN

A.Yani : Luka-luka pada tubuh yang merupakan sepuluh luka tembak masuk dan tiga tembus.

Pandjaitan : mengalami tiga luka tembak pada kepala, serta luka robek kecil di tangan.

Harjono : Penyebab kematiannya rupanya adalah torehan panjang dan dalam pada bagian perut, luka yang lebih mungkin disebabkan oleh bayonet ketimbang pisau lipat atau silet. Sebuah luka serupa yang tak mematikan terdapat pada punggung korban. Cedera lain satu-satunya digambarkan “pada tangan dan pergelangan tangan kiri, luka-luka disebabkan oleh barang tumpul.” Tak ada cara lain yang lebih tepat untuk menafsirkan luka-luka ini kecuali harus mengatakan, bahwa luka-luka tesebut tidak mungkin karena siksaan - jarang penyiksa memilih pergelangan kiri dalam melakukan pekerjaan mereka - dan luka itu barangkali karena mayat itu dilempar ke dalam sumur di Lubang Buaya yang 36 kaki dalamnya.

S. Parman : mengalami lima luka tembak, termasuk dua yang mematikan pada kepala; dan, di samping itu, “robek dan patah tulang pada kepala, rahang, dan kaki kiri bawah, semuanya sebagai akibat benda tumpul dan keras - popor bedil atau dinding dan lantai sumur - tetapi jelas bukan luka-luka “siksaan”, juga tidak sebagai akibat silet atau pisau lipat.

Soeprapto : mati oleh karena sebelas luka tembak pada berbagai bagian tubuhnya. Luka-luka lain berupa enam luka robek dan patah tulang sebagai akibat dari benda tumpul pada kepala dan muka; satu disebabkan oleh benda keras tumpul pada betis kanan; luka- luka dan patah tulang itu “akibat benda tumpul” yang sangat keras pada bagian pinggul dan pada paha kanan atas”; dan tiga sayatan yang, melihat pada ukuran dan kedalamannya, mungkin disebabkan oleh bayonet. Sekali lagi “benda tumpul” mempertunjukkan terjadinya benturan dengan benda-benda keras yang besar dan berbentuk tak menentu (popor bedil dan batu-batu sumur), dan bukannya silet atau pisau.

Sutojo : mengalami tiga luka tembak (termasuk satu yang fatal pada kepala), sedang “tangan kanan dan tempurung kepala retak sebagai akibat benda tumpul keras”. Sekali lagi kombinasi ganjil antara tangan kanan, tulang tengkorak, dan benda pejal berat yang memberikan kesan popor bedil atau batu-batu sumur.
Tendean : mati akibat empat luka tembak. Kecuali itu para ahli tersebut menemukan luka gores pada dahi dan tangan kiri, demikian juga “tiga luka akibat trauma pejal pada kepala.”

Tim terdiri dari

Brigjen Dr Rubiono Kertopati dengan anggota Kolonel Dr

Frans Pattiasina, Prof Dr Sutomo Cokronegoro, Dr Liauw

Yan Siang, dan Dr Lim Yu Thay. Mereka melakukan

tugasnya dari jam 16.30 4 Oktober sampai jam 24.30.

Visum et repertum menyebutkan bahwa tidak ada mata

korban yang dicungkil, kemaluan mereka utuh, 4 korban

berkhitan 3 tidak.

DN.AIDIT

Pada sebuah subuh di bulan November 1965, Aidit dieksekusi. Tubuhnya diberondong senapan AK sampai habis satu magasin. Jasadnya lalu dikuburkan di sebuah liang (sumur) di dalam markas Kodim, Boyolali, Jawa Tengah. Tanpa tanda, tanpa nisan …

BUNG KARNO (BK)

Sejak awal 1968 Bung Karno berada dalam “karantina politik” dan tinggal di pavilyun Istana Bogor, kemudian dipindahkan ke peristirahatan “Hing Puri Bima Sakti” di Batutulis Bogor. Sementara itu tuntutan masyarakat dibuat sedemikian rupa agar semakin keras mendesak Sukarno diadili dengan dalih keterlibatan dalam peristiwa G30S. Persangkaan itu diperkuat kenyataan bahwa Sukarno tidak mau mengutuk PKI yang pimpinannya terlibat dalam percobaan kudeta tersebut.

Prof Mahar Mardjono mengatakan bahwa resep yang dia berikan untuk BK, sengaja disimpan di laci oleh seorang dokter militer berpangkat tinggi.

” Sampai detik terachir BK menolak usulan para pengikutnya terutama dari kalangan Agkatan Darat untuk melakukan perlawanan terhadap langkah-langkah kekerasan berdarah Jenderal Suharto”.

Repoter (orang yang selalu membuat repot) Nyamuk Melaporkan untuk Kompasianer

0 komentar:

Posting Komentar